Oleh : Ummu Arwa’
Itulah jodoh…
Tak terduga, aneh, unik, bahkan terkadang lucu. Ada yang
mendapatkannya dengan susah payah, ada juga yang tanpa susah mencari
datang sendiri. Pun halnya diriku, hanya selang 3 hari ikhwan yang melamarku ditolak Bapak, aku mendapat ganti. Dan lucunya, ikhwan pengganti itu juga usai ditolak lamarannya oleh akhwat lain. Dan tahukah Anda? Akhwat itu
adalah sahabatku sendiri! Awalnya kami sama-sama tak tahu, baru setelah
ia mengundangku dan aku berniat mengundangnya ke pernikahanku, pecahlah
tawa kami. Masya Allah, kisah aneh dan lucu juga membuatku takjub. Karena kami menikah di hari yang sama meski di tempat berbeda…
***
Aku lahir dari keluarga yang awam dalam soal agama, meski muslim
keluargaku hampir tak pernah menanamkan nilai-nilai agama, mau ngaji
atau tidak tak masalah. Hamper seisi rumah shalat bolong-bolong. Maka
tak mengherankan, standar sukses bagi bapak dan ibu adalah materi.
Jilbab besar dan cadar bagi bapak dan ibu adalah hal menakutkan.
Penghalang kesuksesan dunia dan karir kata mereka. Maka tak heran,
beliau berdua keras menentangku. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa
bersabar dalam doa-doa aku. Lebih-lebih, karena aku masih sepenuhnya
tergantung pada mereka.
Lulus kuliah aku mengajar di sebuah sekolah. Tahun berganti hingga suatu hari ada tawaran nikah datang dari seorang ikhwan. Setelah kubaca biodatanya, aku menerimanya dengan mengirim jawaban beberapa hari kemudian. Saat ikhwan datang memenuhi undangan orangtuaku sekaligus meminta izin bapak untuk menikahiku , bapak ternyata menolak sang ikhwan mentah-mentah karena pekerjaannya cuma “pedagang kaki lima”.
Padahal kalau bapak tahu yang sebenarnya, bahwa ikhwan itu
bukan pedagang kaki lima “biasa”, tapi seorang “bos” yang punya 5 buah
toko besar dengan belasan karyawan. Tak Cuma itu, ia juga punya beberapa
indutri rumah tangga konveksi dan produk makanan ringan dengan puluhan
karyawan. “kerendahan diri” ikhwan di depan bapak, membuat
bapak menolaknya. Sedih? Ya, tentu saja. Aku sempat menangis dan kecewa
pada bapak dan ibu. Akhirnya aku hanya bisa pada Allah. Semoga ikhwan sarjana S1, matang agamanya dan juga telah mapan datang melamarku.
Tiga hari kemudian ada tawaran menikah lagi. Meski tak seyakin yang pertama, aku menyambutnya lagi. Dengan bismillah kumulai ta’aruf, berharap yang terbaik. Ikhwan itu kata bapak lebih “menjanjikan” masa depan. Ikhwan itu seorang sarjana yang dipercaya membawahi beberapa usaha muluk teman bapaknya. Qodarullah, ikhwan
itu bermobil saat ke rumah, meski dengan jujur menurutnya itu hanya
mobil inventaris. Tapi begitulah, bagi bapak, secara materi ikhwan kali ini “sesuai seleranya”. Aku sebenarnya tak setuju dengan bapak karena mengutamakan “penampilan” luar, lebih-lebih materi.
Tapi aku memilihnya karena menurut ummahat comblangku dengan ikhwan , ikhwan
itu InsyaAllah shalih, sabar, pinter, punya hafalan Al-Qur’an lumayan
banyak, dan sayang dengan keluarga. Asal tahu saja, bapakku pun tak
terlalu suka aku menikah dengan ikhwan bercelana cingkrang. Bahkan beliau pernah menawariku menikah dengan anak temannya, tapi aku menolaknya.
Hari H telah ditentukan. Tepatnya sepekan kemudian. Meski awalnya
bapak tak mengizinkan secepat itu, beliau lebih senang kami tukar cincin
dulu, pacaran dulu biar lebih tahu pribadi masing-masing. Tapi setelah
dijelaskan bapak menerima. Dua hari sebelum hari H sahabatku satu tempat
taklim datang, kami akhir-akhir ini memang jarang bertemu. Rupanya ia
hendak mengundangku ke pernikahannya. Kami pun mengobrol, hingga aku
menanyakan siapa ikhwan yang akan menikah dengannya. Aku sempat terkejut mendengarnya. Apalagi setelah ia menceritakan ikhwan,alamat, pekerjaandan sebagainya. Melihat aku terkejut dan senyum-senyum karibku penasaran.
“Anti kenal dia ya?” Aku hanya tersenyum
“Gantian cerita dong, calon Anti ikhwan mana?”
Secara singkat aku menceritakan calon suamiku. Sahabatku terkejut dan
senyum-senyum mendengar siapa calon suamiku. Entah siapa yang memulai
kami berdua tertawa terpingkal-pingkal, untung saja di dalam kamar dan
rumah sepi.
“Subhanallah, aneh tapi nyata ya ukh. Kita tukaran jodoh”.
Penolakan kedua orang tua kami pada ikhwan pertama alasannya sama, tak mau punya menantu “ikhwan” , pingin orang yang umum. Tapi qodarullah lamaran kedua pun sama-sama dari ikhwan, subhanallah,
jodoh tak aakan kemana. Doa kami berdua terkabul, karena kami berharap
kelak bila menikah bisa mendapat suami yang shalih. Alas an in itu dari
orang tua, tak menghalangi Allah Ta’ala mengirim jodoh yang shalih buat
kami. Insya Allah, walhamdulillah.
Dua hari kemudian kami sama-sama menikah. Tapi kami tak bisa saling
menghadiri. Kami menikah di hari yang sama, aku sekitar jam 10 pagi,
sahabatku ba’da zhuhur akad nikahnya. Meski tak bisa saling
menghadiri kami saling mendoakan lewat sms. Silaturahmi kami pun kian
akrab, kini kamisudah punya masing-masing tiga momongan. Semoga rumah
tangga yang kami bangun ini langgeng dan semoga kami senantiasa bisa
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar